Bullying? Apa itu? Ini Penjelasannya...
Apa kabar kawan-kawan? Bagaimana kabar kalian? Semoga kalian dalam keadaan yang sehat ya? Di kesempatan kali ini, saya akan memberikan penjelasan terkait bullying dan pengaruhnya.
Istilah bullying tentunya sudah sering kita dengar. Namun, apakah kalian mengetahui apa pengertian dari bullying? Bagi yang belum tahu, berikut penjelasannya. Secara etimologis, kata bullying berasal dari Bahasa Inggris, yaitu kata bull yang berarti banteng. Kalau dalam bahasa Indonesia, kata bully berarti penggertak atau pengganggu orang lain yang lemah (Zakiyah, Humaedi, & Santoso, 2017). Sedangkan secara terminologis, menurut Zakiyah, Humaedi, & Santoso (2017) bullying adalah bentuk-bentuk perilaku kekerasan dimana terjadi pemaksaan secara psikologis maupun fisik terhadap seseorang atau sekelompok orang yang dianggap lebih “lemah” oleh seseorang atau sekelompok orang.
Dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan perilaku semena-mena dari pihak yang merasa lebih kuat terhadap pihak lain yang dianggap lebih lemah. Lalu, mengapa seseorang bisa menjadi pelaku bullying? Mengapa seseorang bisa menjadi korban bullying? Bagaimana dampak bullying terhadap korbannya? Apa saja upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi bullying?
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai bullying, rekan saya yang bernama Lutfi berkesempatan untuk melakukan podcast kepada seorang narasumber yang pernah menjadi korban bullying. Podcast tersebut disiarkan melalui Spotify dengan judul "BULLYING: Krisis Anak Muda Masa Kini". Dikarenakan pandemi COVID-19 masih terjadi, maka podcast dilakukan dengan mematuhi protokol kesehatan.
Narasumber berinisial V, dirinya merupakan mahasiswi dari sebuah universitas swasta di Kota Surakarta. V bercerita bahwa dirinya pernah mengalami perilaku bullying di masa SD, SMP, hingga SMA. Dirinya merasa bahwa kelainan fisiknya, yaitu mata juling membuat orang-orang di sekitarnya merasa aneh ketika melihatnya.
"Dulu itu pernah ya... pas SMP-SMA, sebenernya dari SD udah ada gitu, kan. Cuma dia itu lingkupnya karena masih temen sendiri yang bahkan kita dari TK bareng dan beberapa itu ada yang saudara sepupu, jadi... apa ya? Biasa aja gitu lho, cuma beberapa orang aja dan itu... yaudah kayak gak dipikir banget gitu. Karena kan mayoritas orang-orang di lingkunganku yang udah aku kenal. Itu udah bikin aku nyaman, dan yaudah gak usah terlalu deket sama yang nge-bully. Gitu loh. Ada yang nemenin aku pas SD. Terus, pas SMP itu karena emang eee... ada beberapa hal yang... itu kan. Ya bully-nya itu yang masih bercandaan anak SMP. Tau kan. Dibawa santai gitu. Kita cuma ledek-ledekkan aja. Cuma, secara... secara bahasanya dia itu kalo ngomong kasar banget. Itu eee... apa namanya? Menghina secara fisik sih, kalo menurutku sekarang, itu. Terus SMA memang sedikit punya temen, dikarenakan kuliah... eh sekolahnya di kota ya? SMA-nya di kota sama orang-orang baru yang nggak dikenal. Sebenernya punya keterbatasan fisik yang gak bisa dibilang cacat juga... itu nggak. Itu kan matanya juling. Beberapa orang itu kayak aneh gitu kan? Dan gara-gara itu punya temen ya kayak beberapa. Terus, kebetulan temen-temen yang deket sama aku itu mereka juga punya keterbatasan secara fisik, secara finansial, dan lain sebagainya, terus kita kayak tersisih dan jadi satu gitu. Sebenernya itu kayak hal-hal yang gak perlu banget seharusnya didiskriminasi oleh masyarakat kita. Karena individu kan punya individual differences banget gitu kan? Tapi ya namanya masih anak SMP, anak SMA masih kayak seenak jidat gitu kan kalo nge-label-in orang"
Berdasarkan pemaparan dari V, maka dapat diketahui bahwa kelainan fisiknya telah membuat beberapa orang di sekitarnya melakukan bullying yang bersifat verbal. Karena itulah, V akhirnya tidak mempunyai banyak teman dan lebih memilih untuk berteman dengan orang-orang yang mempunyai kemiripan karakteristik dengannya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sari & Azwar (2017) bahwa bullying merupakan perilaku yang tidak baik, hal ini dikarenakan perilaku tersebut memiliki dampak yang cukup serius. Bullying dalam jangka pendek dapat menimbulkan perasaan tidak aman, terisolasi, perasaan harga diri yang rendah, depresi, atau menderita stress yang dapat berakhir dengan bunuh diri. Dalam jangka panjang, korban bullying dapat menderita masalah emosional dan perilaku.
Menurut Pertiwi & Juneman (dalam Sari & Azwar, 2017), ciri-ciri pembulian antara lain:
(1) dilakukan dengan sengaja, bukan sekedar kelalaian dari pelakunya,
(2) terjadi berulang-ulang, tidak dilakukan secara acak atau hanya sekali saja, dan
(3) didasari oleh perbedaan kekuatan yang mencolok, minsalnya dari segi fisik atau usia pelaku/ korbannya tidak seimbang.
Mengapa bullying bisa terjadi? Menurut Bandura (dalam Sari & Azwar, 2017) dalam teori belajar sosialnya, perilaku bullying dapat terjadi karena dua metode yaitu pembelajaran instrumental yaitu terjadi jika sesuatu perilaku diberi penguat atau diberi reward (hadiah), maka perilaku tersebut cenderung akan diulang pada waktu yang lain. Dan pembelajaran observasional yaitu terjadi jika seseorang belajar perilaku yang baru melalui observasi atau pengamatan kepada orang lain yang disebut ―model. Lebih lanjut Bandura mengatakan bahwa, perilaku agresif seperti bullying merupakan sesuatu yang dipelajari dan bukannya perilaku yang dibawa individu sejak lahir perilaku agresif ini dipelajari dari lingkungan sosial seperti interaksi dengan keluarga, interaksi, dengan rekan sebaya dan media massa melalui modelling. Dengan demikian, salah satu penyebab perilaku bullying adalah pengaruh lingkungan yang kurang baik.
Selain karena akibat dari mencontoh (modelling) melalui mengamatan serta adanya penguatan dari lingkungan terhadap perilaku tersebut, bullying juga bisa terjadi karena pelakunya juga tidak mendapatkan konsekuensi dari pihak guru atau sekolah, maka dari sudut pandang teori belajar, pelaku bullying mendapatkan reward atau penguatan dari perilakunya. Pembully akan mempresepsikan bahwa perilakunya justru mendapatkan pembenaran bahkan memberinya identitas sosial yang membanggakan pihak-pihak outsider, seperti misalnya guru, murid, orang-orang yang bekerja disekolah, orang tua, walaupun mereka mengatahuinya akan tetapi tidak melaporkan, tidak mencegah dan hanya membiarkan perilaku bully tersebut karena merasa bahwa hal ini wajar, sebenarnya dengan apa yang dilakukan pihak outsider tersebut menunjukkan bahwa kurangnya kepedulian dan membiarkan prilaku bully tetap marak di lingkungan peserta didik, dengan berjalannya waktu, pada saat korban merasa naik status sosialnya (kerena naik kelas) dan telah ―dibebaskan memalui kegiatan inisisasi informal‖ oleh kelompok bully, terjadi perputaran peran. Korban berubah menjadi Bully, assisten atau reinvorcer untuk melampiaskan dendamnya. Karena itulah, pelaku bullying hendaknya pihak-pihak seperti guru dan orangtua memberikan penguatan berupa punishment (hukuman) agar pelaku merasa jera, sehingga tidak menimbulkan pelaku-pelaku bullying selanjutnya yang berasal dari korban.
Lantas, apa upaya yang bisa kita lakukan untuk mengatasi tindak bullying? Menurut Firdaus (2019) dalam rangka mencegah dan mengatasi
bullying di lingkungan sekolah, maka perlu adanya
kerjasama dan hubungan yang baik antara
guru, orang tua dan staf-staf sekolah lainnya.
Sekolah sebaiknya membuat program-program yang mengusung sekolah anti-bullying, dimana prrogram tersebut dapat
disosialisakan kepada siswa mengenai
masalah perilaku bullying tersebut,
mengadapat pertemuan rutin dengan orang
tua dan komite sekolah.
Guru dapat memberikan bimbingan
secara intensif mengenai masalah bullying di
sekolah, menciptakan hubungan yang baik
dengan orang tua siswa, senantiasa setiap saat
menanamkan pendidikan nilai kepada siswa,
dan membuat suatu pembelajaran yang dapat
meningkatkan perkembangan sosial siswa dan
mencegah perilaku bullying melalui
pembelajaran kelompok dan role playing.
Orang tua harus memiliki pemahaman
mengenai perkembangan kepribadian dan
sosial anak, serta cara mencegah perilaku
bullying di sekolah. Orang tua harus aktif
mengikuti pelatihan-pelatihan mengenai pola
asuh yang kondusif untuk perkembangan kepribadian dan sosial anak tersebut. Selain
itu, orang tua juga harus aktif dalam organisasi
komite sekolah dan melakukan komunikasi
secara intensif dengan guru mengenai
perkembangan anak mereka.
Agar upaya-upaya tersebut dapat berjalan secara optimal, maka
diperlukan adanya sinergitas antara program
sekolah dengan parenting program supaya
sekolah dan orang tua dapat bekerjasama
dalam memfasilitasi perkembangan
kepribadian dan sosial siswa sekolah.
Demikianlah artikel tentang tentang bullying ini. Semoga bermanfaat, dan mohon maaf apabila dalam penyampaiannya masih terdapat kesalahan. Terima kasih sudah menyempatkan diri untuk membaca artikel ini sampai selesai.
Komentar
Posting Komentar