Wayang Sebagai Media Dakwah
Wayang adalah potret kehidupan yang berisi
sanepa (sindiran), piwulang (ajaran), dan pituduh (nasehat). Wayang berisi
kebiasaan hidup, tingkah laku, etika kehidupan manusia dan keadaan alam. Cerita
lakon wayang mencerminkan pralambang kehidupan manusia. Antara lakon satu dan
lainnya berbeda, para pelaku yang disebut dalam cerita, inti dan alur cerita
wayang menggambarkan kehidupan manusia mulai dari lahir, dewasa hingga mati.
Dalam proses ini manusia senantiasa mengupayakan keseimbangan antara manusia
Alam dan Tuhan Yang Maha Esa. Wayang ini digunakan oleh Walisanga dalam
Islamisasi Jawa.
Wayang
berkembang sesuai dengan kehidupan dan peradaban manusia, sejak zaman Ramayana
dan Mahabarata, zaman kerajaan Jawa serta zaman revolusi kemerdekaan. Wayang
merupakan gambaran dari kehidupan manusia, baik secara individu maupun
berkelompok menghasilkan ajaran moral manusia yang lengkap dan kemudian menjadi
baku. Dalam bentuk, seperti; sanepa, piwulang dan pituduh bagi kehidupan
manusia mencapai kesejahteraan dalam suasana tenang, tentram dan damai. Dalam
tradisi literasi terdapat semacam pandangan bahwa masyarakat Jawa adalah
masyarakat yang secara mistik eksotik, tidak sama dengan masyarakat mana pun.
Wayang sebagai
etika kehidupan disebut juga budaya ratu. Ratu adalah seorang pemimpin bangsa
dan pemimpin negara. Sedangkan karatuan sebagai sumber pembudayaan wayang.
Pelestarian Karaton sebagai sumber dan pusat kebudayaan pewayangan berarti
melestarikan etika kehidupan yang adiluhung dan bermanfaat. Namun demikian
pelestarian budaya pewayangan hanya dapat tercapai jika terdapat pemahaman
bersama tentang hakekat dan makna dari pewayangan sebagai etika dan pedoman
hidup yang sebenarnya.
Sebagai
kekuatan dari kebudayaan Jawa ini adalah kemampuannya untuk menyerap dan
mengintegrasikan semua pengaruh budaya Hindu, Islam dan lainnya yang datang ke
Jawa adalah kesenian wayang. Kesenian wayang dengan unsur-unsur autochton dari
dirinya sendiri. Misalnya; kaum intelektual tradisional Jawa mampu mengambil
unsur-unsur yang diperlukannya dan menjawakannya. Berbagai kisah yang berasal
dari kebudayaan Hindu, Budha dan Islam, tetapi perwujudan dan narasinya dengan
jelas beratar belakang budaya Jawa.
Walisongo dkk. tidak hanya memiliki
keahlian berdakwah, tetapi mempunyai khazanah sufistik yang cukup mendalam dan
substantif. Syaifullah membagi lima model strategi dakwah Walisongo dalam
menyebarkan dan mengembangkan misi Islam di Jawa, antara lain:
1.
penyebaran ulama-ulama ke daerah-daerah yang
menjadi bawahan Majapahit;
2.
pengenalan ajaran Islam secara persuasif yang
berorientasi pada penanaman aqidah sesuai dengan kondisi dan situasi;
3.
perang ideologi untuk memberantas nilai-nilai
dogmatis;
4.
menghindari konflik dan mendekati para tokoh
masyarakat;
5.
berusaha menguasai kebutuhan pokok yang sangat
dibutuhkan masyarakat
Strategi dakwah
para wali itu sesuai dengan substansi dakwah (memberi manfaat bagi orang lain).
Misalnya, Urip Iku Urup (Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat)
bagi orang lain. Semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih
baik. Sabda Nabi Muhammad SAW; "khoirun naasi 'anfa'uhum linnas".
Strategi dakwah
ini ikut memperlancar dan mempercepat perkembangan Islam adalah karena
melemahnya kekuasaan kerajaan Majapahit Hindu dan Islam harus berhadapan dengan
dua jenis lingkungan budaya Kewajen, yaitu lingkungan budaya istana (Majapahit)
yang telah mapan dengan mengolah unsur-unsur Hinduisme dan budaya pedesaan
(wong cilik) yang tetap hidup dalam kegelapan animisme-dinamisme dan hanya
lapisan kulitnya saja yang terpengaruh Hinduisme. Babad Tanah Jawa diterangkan
bahwa Raja Majapahit menolak tidak mau menerima agama baru. Jika raja tidak mau
atau menolak, tentu tidak akan mudah Islam masuk ke dalam lingkungan istana.
Komentar
Posting Komentar